LELAKI POHON
Ia tak ubahnya pohon. Meliuk ke sana
ke mari menyambangi kami, saban hari. Dari pagi yang menguning hingga langit
memerah di sebelah barat. Kulitnya legam, meski sebenarnya ia bekerja di
ruang-ruang yang teduh. Tapi ia tak sempat merawat kulitnya. Walau, sekadar
mengusapkan spoon ke tubuh. Apalagi memakai lulur bermerk mahal. Tidak.
Dia membiarkan kulitnya hitam mengeras, dijalari urat-urat beton varises
di sebagian kakinya. Tangannya lebih mirip amplas. Meski tangan itu kami akui
sebagai satu-satunya tangan paling rajin di tempat ini. Di pandangan kami dan
di pandangan setiap mata yang pernah menatap tangan itu.
Kami menjulukinya Lelaki Pohon.
Bukan lantaran postur tubuhnya yang menjulang melampaui dahan-dahan yang
menyerempet mengenai tubuhnya, tidak. Tetapi, karena kami telah bersepaham,
lelaki itu telah menyatu dengan kehidupan kami. Sejak dulu, sejak awal kampung
kami dibangun. Ia telah menunggui kami, dari semenjak pagi, siang, petang,
malam bahkan. Orang-orang tak ada yang seperti dia. Entah karena mereka yang
malas atau pun pria itu yang terlampau rajin, kami tak peduli. Yang jelas, dia
telah menunggui kami, setia dan sangat setia.
Ia terlalu setia menjaga kami.
Seperti ia mungkin merawat anak-anaknya kelak. Bila tubuhnya letih menari-nari
di bawah batang sawit, ia pun merebahkan punggungnya. Tangannya tak pernah
lepas dari sebotol air bening yang ia selipkan di sabuk kumalnya. Ia mereguk
air itu sampai tuntas. Tak ada aura letih di sorot mata teduhnya. Mungkin
tersebab ia ikhlas, itulah sajalah dugaan kami. Tak ada upah istimewa yang ia
terima dari majikannya. Meski ia terbilang tukang panen sawit yang berprestasi.
Tapi orang-orang kampung sana terlalu medit untuk sekedar memberi apresiasi.
Seribu rupiah pun diWanta kembali. Lelaki itu pun selalu punya persediaan uang
ribuan. Di setiap kali ujung bulan, uang itu ia persiapkan untuk mengembalikan
sisa gaji panen milik majikan yang selalu diWanta.
Itu menjadi salah satu sebab mengapa
kami terus mengakui sosok itu sebagai Lelaki Pohon. Ia tegar merawat pohon-pohon
milik orang lain. Padahal sampai detik ini, upah yang ia terima belum mampu
membeli sebatang pohon sawit pun seperti layaknya yang dimiliki orang-orang di
kampung ini. Bukan ia yang tak berhemat, tetapi karena standar upah di sini
terlalu murah. Ditambah lagi biaya hidup yang tak manusiawi. Siapa yang salah?
Lelaki Pohon, ya si Pemuda itu
bernama Kaswan. Ia hanya menjalani takdir. Takdir ketika ia harus terus setia
bersama kami. Hingga suatu ketika, kami mengira, Tuhan ingin menguji
kesetiaannya dalam merawat dan menjaga kami. Seorang laki-laki berbadan gemuk
dengan celana pendek sebatas lutut datang menghampirinya dengan penuh semangat.
“Rajin
sekali kau Wan merawat kebun ini, memangnya berapa gajimu?”
“Tidak
ada yang istimewa, aku bekerja seperti biasa saja. Gaji juga sesuai standar
pasaran.”
“Beruntung
sekali majikanmu. Tapi aku bisa memberimu tambahan bonus gaji Wan, asal kita
bisa bekerja sama.” Lelaki bertubuh gemuk itu tersenyum penuh makna.
“Maksud
Bang Junaedi?” Kaswan yang lugu bertanya dengan polos.
“Jumlah
batang sawit bosmu ini terlalu banyak Wan. Hitungannya bisa lebih dari ukuran
satu kaplingan sawit. Untuk keuntunganmu juga, ada baiknya sehari sebelum waktu
penimbangan buah, beberapa tandan kau angkat dan titipkan di tempatku. Si tua
bosmu itu tak akan tau. Dia sudah sangat percaya padamu dan jarang pula datang
kemari menjenguk kebunnya sendiri.”
Kaswan malah bingung mendengar
penuturan lelaki yang ia panggil Bang Junaedi. Mungkin dalam benaknya mulai
berperang bisikan-bisikan jahat. Benar kata Bang Junaedi, kalau ia mau berbuat
berani sedikit saja, tentu ia akan mendapatkan gaji yang lebih. Terbentang
segera wajah-wajah adiknya di kampung. Dua bulan lagi dua adiknya harus
melanjutkan sekolah ke SLTA dan bangku kuliah. Satu bulan lagi tagihan hutang
ayahnya sudah jatuh tempo. Kalau hanya mengandalkan gaji lima ratus ribu yang
ia terima dari bosnya setiap bulan tak akan cukup. Harus ada cara mendapatkan
uang tambahan dalam waktu dekat. Tapi sekilas terbayang pula wajah tua Pak
Teguh majikannya. Ia begitu menghormati lelaki tua itu meski uang seribu saja
tetap ia kembalikan karena diWanta.
“Bagaimana,
Wan?”
“Aku…aku
belum bisa jawab sekarang Bang. Aku masih takut.”
“Hmmm,
kau memang masih terlalu polos. Tapi kau juga harus pikirkan nasibmu Wan.
Sampai kapan kau mau jadi tukang panen begini? Gaji tak pernah naik, boro-boro
punya kebun sawit. Aku tunggu keputusanmu.” Lelaki itu berucap sinis sambil
berlalu.
Kami benci lelaki gemuk itu, sangat
benci. Ia telah membuat lelaki kami mulai tergoda untuk berbuat curang. Lihat
lah sekarang ia duduk termenung. Seharusnya sekarang ia memunguti
pelepah-pelepah sawit yang ia patahkan beberapa jam lalu. Kini ia nampak sangat
gusar. Kami berdoa dan terus berdoa, jangan ikuti ajakan lelaki setan itu, Wan.
Teruslah menjadi Lelaki Pohon, pahlawan bagi kami.
*
Kaswan benar-benar menjadi Lelaki
Pohon. Ia kebanggaan kami, seperti bangganya ia merawat kami saban hari.
Kami ingin melonjak-lonjak kegirangan ketika mendengar keputusan Kaswan di
hadapan Bang Junaedi. Dengarlalah, dengarlah ini penuturan pemuda jujur
itu.
“Maaf
Bang, sudah aku pikirkan masak-masak, aku tak bisa mengikuti keinginanmu.”
“Lho
kenapa? Tawaranku itu cukup bagus Wan. Dalam sebulan gajimu bisa berlipat. Kau
tak akan jadi buruh murahan lagi.”
“Aku
tau itu Bang, tapi aku kasihan kepada sawit-sawit itu.”
“Kasihan
kenapa? Bosmu saja tak pernah kasihan kepadamu. Lihat saja, sudah hampir
delapan tahun kau kerja dengannya, tapi uang seribu saja masih dia Wanta.”
“Tak
apalah Bang, uang seribu itu kan memang bukan hakku.”
“Kau
ini Kaswan, kau bisa menyesal dikemudian hari.”
“Aku
tak kan menyesal Bang. Aku mau kerjaku tetap setia pada kebaikan. Meskipun
selamanya aku menjadi buruh murahan.”
“Tapi
Kaswan, apa kau tak pernah berpikir untuk meningkatkan taraf hidupmu. Menikah
misalnya? Punya kebun sendiri.”
“Tentu
saja aku berpikir Bang, tapi tidak dengan cara yang buruk seperti itu.”
“Bosmu
itu kalau tidak dicurangi tidak akan pernah paham. Pelitnya itu sudah mendarah
daging. Makanya karyawannya cuma kau, karena kau yang paling nurut dan tidak
pernah protes.”
“Tak
apa Bang, aku yakin suatu hari dia akan berubah.”
Diam dan kesal, Bang Junaedi berlalu
sambil terus geleng-geleng kepala. Dan kami ingin sekali menjerit-jerit bahagia
sambil berterimakasih kepada pahlawan kami. Lelaki Pohon, ia begitu sempurna
mendapatkan julukan itu.
*
Lelaki Pohon itu kembali menjalani
hari-harinya dengan penuh kesetiaan. Ia harus sering-sering tutup telinga
dengan omongan orang. Mungkin banyak orang-orang yang kasihan pada nasib
lelaki itu, tapi ia begitu setia dan sangat setia. Setia kepada lelaki yang
nyaris renta bernama Teguh.
Seluruh warga di kampung itu
mengatakan Teguh keterlaluan kepada Kaswan. Tapi Kaswan tak pernah terpengaruh.
Ia bahkan semakin rajin membersihkan kaplingan sawit seluas dua hektar yang
diamanahkan padanya. Ia yakin, kesetiaan akan membuahkan kebahagiaan. Meski
jujur, ia tak tahu kapan. Apakah sampai lelaki renta itu meninggal?
Oh tidak, Kaswan tak ingin
berprasangka buruk pada takdir. Itu tak pernah ada dalam kamus hidupnya.
Meskipun ia terlahir menjadi miskin jelata seperti kata orang. Cukuplah nasehat
ayahnya dulu jadi pedoman, ‘Le, jadi bocah sing jujur setia, Insya Allah
urepmu bakal seneng.’
Tapi entah kapan wejangan ayahnya
itu bakal terwujud, mungkin lima tahun lagi, sepuluh tahun atau bahkan belasan
tahun yang akan datang, ia tak tahu. Yang penting, ia terus jujur dan setia,
menjadi lelaki pohon yang akan dikenang zaman. Miskin itu akan menjadi mulia,
bila dikemas dengan jujur dan setia. Itulah motto hidup Kaswan. Motto yang tak
pernah dimengerti oleh warga kampung tempat ia tinggal.
Pagi itu ada secercah harapan di
wajah Kaswan. Saat ia mendapat kabar bahwa Pak Teguh ingin bertemu dengannya.
Ia berharap, inilah akhir dari kesetiaan yang bertahun-tahun ia rawat. Ia
yakin, petuah ayahnya akan jadi kenyataan. Anak yang menurut nasehat orang tua
biasanya akan selalu bahagia. Faktanya begitu dalam kehidupan. Kaswan pun
begitu mantap. Pagi sekali ia mempersiapkan diri mendatangi rumah bosnya. Rumah
berdesain Wanimalis modern dengan nuansa warna abu-abu yang berdiri megah. Pagi
masih sangat basah. Sampai-sampai bulu mata Kaswan pun masih rapat tertutup
embun yang turun seperti kristal-kristal es. Ia sedang menunggu keberuntungan
dari butiran kristal itu.
“Wan,
saya ingin menyampaikan sesuatu ke kamu.”
“Ya
Pak, soal apa ya Pak?”
“Sebelumnya
saya Wanta maaf Wan. Keponakan saya baru datang dari Jawa, dia sedang mencari
kerjaan di sini.”
“Oh
ya, saya sudah sempat melihat dia kemarin, Pak.”
“Ya.
Tapi hal ini ada hubungannya dengan kamu. Saya Wanta maaf Wan, mulai pekan
depan, keponakan saya yang akan bekerja merawat sawit yang saya amanahkan
ke kamu. Kebun sawit yang lain terlalu jauh, keponakan saya maunya kapling yang
kamu panen itu.”
Dunia seolah runtuh. Kaswan bungkam
seketika. Pikirannya berkecamuk. Sekilas terbayang wajah Bang Junaedi, ayahnya
serta adik-adiknya. Apakah ia harus menyesali keputusannya kemarin menolak
usulan Bang Junaedi? Toh, nyatanya hari ini Pak Teguh malah memecatnya. Jauh
sekali dari harapan yang ia inginkan. Tidak, Kaswan menepis semua
pikiran-pikiran buruk di kepalanya. Ia berusaha mengembangkan senyum rapuhnya
di hadapan lelaki yang telah bertahun-tahun menggajinya dengan jumlah tak
layak.
“Ya
Pak, tak apa-apa. Kalau keponakan Bapak maunya begitu ya tidak apa-apa. Saya
bisa cari tempat lain untuk bekerja.”
“Maafkan
saya ya Kaswan.”
Cuma
itu ungkapan terakhir Pak Teguh. Tak ada amplop pesangon yang sempat terlintas
di kepala Kaswan. Yang ada hanya sebuah senyum tipis lelaki senja di balek
cerutu. Senyum yang tentu saja sama sekali tak dibutuhkan oleh Kaswan.
Berita pemecatan Kaswan menjadi duka
nestapa bagi kami. Bukan hanya karena kami akan kehilangan Lelaki Pohon, lebih
dari itu keponakan Pak Teguh ternyata sangat jahat merawat kami. Ia berhasil
dirayu Bang Junaedi dan akhirnya bersekongkol dengan toke sawit itu.
Hampir disetiap musim panen, tak kurang dari dua angkong sawit milik Pak Teguh
melayang ke Tempat Pemungutan Hasil (TPH) milik Bang Junaedi. Mereka berbagi
keuntungan. Sementara Pak Teguh tak pernah tahu dan tak mengamati. Ia
sangat menyayangi keponakannya itu.
Sekarang kami hanya bisa berdoa.
Siang malam kami berharap agar perangai keponakan Pak Teguh segera terbongkar.
Ia sangat jahat menjaga kami. Rumput dan dahan kami tak pernah dibersihkan.
Bahkan teman-temanku yang belum layak dipanen pun ia paksa turunkan. Berondolan
berserakan di tiap bawah batang sawit. Sementara pasar pikul sawit dibiarkan
menjadi semak belukar. Kami ingin menjerit, berteriak dan mengadu kepada
pemilik kami. Tapi Pak Teguh sama sekali tak pernah menyambangi. Ia hanya
ingat ketika kami telah menjadi lembaran-lembaran rupiah.
Kami masih terus begini. Hidup tanpa
perawatan. Seolah hanya menjadi sapi perah bagi semua orang. Kami rindu Lelaki
Pohon. Ia telah menghilang bak ditelah bumi. Semenjak hari itu, ketika lelaki
tua itu memisahkan kami dengan dirinya. Ia raib entah ke mana. Tak ada yang
tahu. Yang jelas, Bang Junaedi orang yang paling bahagia dengan kepergian
lelaki kami. Akankah kami terus begini? Tidak! Kami berusaha menentang takdir
dengan doa. Siang dan malam kami berharap hal buruk ini segera berlalu. Kami
tak ingin satu persatu dari kami mati secara mengenaskan karena sering diperah
buahnya secara tidak layak. Tuhan, kami menunggu tanganMu
menyentuhkami.Menghalau kekejaman lelaki muda tak tau diuntung keponakan Pak
Teguh. Atau Bang Junaedi si pencuri yang tak tau malu itu.
Kami tak mengerti kenapa ada manusia
berputus asa dengan doa. Kami tidak. Kami percaya kekuatan doa. Buktinya Tuhan
mengabulkan doa kami. Suatu malam yang pekat, kami dikejutkan oleh dua sosok
makhluk berbaju hitam. Mereka manusia, liar dan sadis. Mereka menggerayangi
kami, mengambil buah-buah kami tanpa sisa. Makhluk-makhluk itu mengangkut
buah-buah kami ke atas sebuah mobil box dengan ukuran yang lumayan besar. Kami
tak bisa berbuat apa-apa. Makhluk-makhluk terlalu lincah dan gesit. Yang bisa
kami saksikan hanyalah ketika di pagi hari warga sekitar pemilik kebun-kebun di
sini mengikat seorang lelaki berbaju hitam pekat. Mungkin makhluk yang kami
lihat tadi malam. Hohhh…. lelaki itu tak asing lagi bagi kami, dialah
keponakan Pak Teguh.
“Tangkap
ninja sawit itu!” semua orang berteriak kompak. Kami lihat Pak Teguh menutup
wajah malu di antara kerumunan wajah-wajah yang terus saja mengelilinginya.
Kami tak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Keponakan Pak Teguh diborgol dan
dibawa pergi oleh massa. Pak Teguh menatap kami sebentar, lalu ia pun berlalu
dengan wajah sedih.
*
Lelaki
Pohon itu tiba. Kami histeris menyaksikannya. Ia kini bukan seperti yang
dulu kami kenal. Ia datang dengan sebuah mobil baru. Ia menyalami Pak
Teguh. Ia telah berubah. Bajunya sekarang lebih berwarna cerah, tak seperti
dulu yang sulit kami sebutkan warnanya. Mereka berbincang-bincang.
“Maafkan
saya Kaswan, semenjak kamu pergi, kebun saya jadi rusak total. Tapi sekarang
sedang dalam tahap perbaikan. Kalau kamu tak keberatan, kamu bisa membeli kebun
ini. Jangan khawatir, harganya pasti saya diskon.”
“Saya
memang sudah lama menyukai kebun Pak Teguh ini. Tapi baru sekarang saya punya
uang untuk membelinya.”
“Kamu
hebat, Kaswan.”
“Apanya
yang hebat, Pak? Saya baru punya mobil satu, Bapak punya tiga mobil.”
“Tapi
kamu seorang pebisnis sawit sekarang, sedang saya hanya pemilik kebun sawit.”
Kami melihat Lelaki Pohon itu
tersenyum. Seperti senyum kami yang terus merekah, bangga akan dia. Kami
juga bahagia akan menjadi milik lelaki itu. Lelaki Pohon, yang bertahun-tahun
merawat dan menjaga kami dengan keikhlasan dan ketelatenan. Kini meski bukan ia
lagi yang merawat kami, setidaknya kami akan selalu melihat Lelaki Pohon
menyambangi kami.
BERSAMBUNG