Kamis, 10 Juli 2014

LELAKI POHON



LELAKI POHON


            Ia tak ubahnya pohon. Meliuk ke sana ke mari menyambangi kami, saban hari. Dari pagi yang menguning hingga langit memerah di sebelah barat. Kulitnya legam, meski sebenarnya ia bekerja di ruang-ruang yang teduh. Tapi ia tak sempat merawat kulitnya. Walau, sekadar mengusapkan spoon ke tubuh. Apalagi memakai lulur bermerk mahal. Tidak. Dia  membiarkan kulitnya hitam mengeras, dijalari urat-urat beton varises di sebagian kakinya. Tangannya lebih mirip amplas. Meski tangan itu kami akui sebagai satu-satunya tangan paling rajin di tempat ini. Di pandangan kami dan di pandangan setiap mata yang pernah menatap tangan itu.

            Kami menjulukinya Lelaki Pohon. Bukan lantaran postur tubuhnya yang menjulang melampaui dahan-dahan yang menyerempet mengenai tubuhnya, tidak. Tetapi, karena kami telah bersepaham, lelaki itu telah menyatu dengan kehidupan kami. Sejak dulu, sejak awal kampung kami dibangun. Ia telah menunggui kami, dari semenjak pagi, siang, petang, malam bahkan. Orang-orang tak ada yang seperti dia. Entah karena mereka yang malas atau pun pria itu yang terlampau rajin, kami tak peduli. Yang jelas, dia telah menunggui kami, setia dan sangat setia.

            Ia terlalu setia menjaga kami. Seperti ia mungkin merawat anak-anaknya kelak. Bila tubuhnya letih menari-nari di bawah batang sawit, ia pun merebahkan punggungnya. Tangannya tak pernah lepas dari sebotol air bening yang ia selipkan di sabuk kumalnya. Ia mereguk air itu sampai tuntas. Tak ada aura letih di sorot mata teduhnya. Mungkin tersebab ia ikhlas, itulah sajalah dugaan kami. Tak ada upah istimewa yang ia terima dari majikannya. Meski ia terbilang tukang panen sawit yang berprestasi. Tapi orang-orang kampung sana terlalu medit untuk sekedar memberi apresiasi. Seribu rupiah pun diWanta kembali. Lelaki itu pun selalu punya persediaan uang ribuan. Di setiap kali ujung bulan, uang itu ia persiapkan untuk mengembalikan sisa gaji panen milik majikan yang selalu diWanta.

            Itu menjadi salah satu sebab mengapa kami terus mengakui sosok itu sebagai Lelaki Pohon. Ia tegar merawat pohon-pohon milik orang lain. Padahal sampai detik ini, upah yang ia terima belum mampu membeli sebatang pohon sawit pun seperti layaknya yang dimiliki orang-orang di kampung ini. Bukan ia yang tak berhemat, tetapi karena standar upah di sini terlalu murah. Ditambah lagi biaya hidup yang tak manusiawi. Siapa yang salah?

            Lelaki Pohon, ya si Pemuda itu bernama Kaswan. Ia hanya menjalani takdir. Takdir ketika ia harus terus setia bersama kami. Hingga suatu ketika, kami mengira, Tuhan ingin menguji kesetiaannya dalam merawat dan menjaga kami. Seorang laki-laki berbadan gemuk dengan celana pendek sebatas lutut datang menghampirinya dengan penuh semangat.
“Rajin sekali kau Wan merawat kebun ini, memangnya berapa gajimu?”
“Tidak ada yang istimewa, aku bekerja seperti biasa saja. Gaji juga sesuai standar pasaran.”
“Beruntung sekali majikanmu. Tapi aku bisa memberimu tambahan bonus gaji Wan, asal kita bisa bekerja sama.” Lelaki bertubuh gemuk itu tersenyum penuh makna.
“Maksud Bang Junaedi?” Kaswan yang lugu bertanya dengan polos.
“Jumlah batang sawit bosmu ini terlalu banyak Wan. Hitungannya bisa lebih dari ukuran satu kaplingan sawit. Untuk keuntunganmu juga, ada baiknya sehari sebelum waktu penimbangan buah, beberapa tandan kau angkat dan titipkan di tempatku. Si tua bosmu itu tak akan tau. Dia sudah sangat percaya padamu dan jarang pula datang kemari menjenguk kebunnya sendiri.”

            Kaswan malah bingung mendengar penuturan lelaki yang ia panggil Bang Junaedi. Mungkin dalam benaknya mulai berperang bisikan-bisikan jahat. Benar kata Bang Junaedi, kalau ia mau berbuat berani sedikit saja, tentu ia akan mendapatkan gaji yang lebih. Terbentang segera wajah-wajah adiknya di kampung. Dua bulan lagi dua adiknya harus melanjutkan sekolah ke SLTA dan bangku kuliah. Satu bulan lagi tagihan hutang ayahnya sudah jatuh tempo. Kalau hanya mengandalkan gaji lima ratus ribu yang ia terima dari bosnya setiap bulan tak akan cukup. Harus ada cara mendapatkan uang tambahan dalam waktu dekat. Tapi sekilas terbayang pula wajah tua Pak Teguh majikannya. Ia begitu menghormati lelaki tua itu meski uang seribu saja tetap ia kembalikan karena diWanta.
“Bagaimana, Wan?”
“Aku…aku belum bisa jawab sekarang Bang. Aku masih takut.”
“Hmmm, kau memang masih terlalu polos. Tapi kau juga harus pikirkan nasibmu Wan. Sampai kapan kau mau jadi tukang panen begini? Gaji tak pernah naik, boro-boro punya kebun sawit. Aku tunggu keputusanmu.” Lelaki itu berucap sinis sambil berlalu.

            Kami benci lelaki gemuk itu, sangat benci. Ia telah membuat lelaki kami mulai tergoda untuk berbuat curang. Lihat lah sekarang ia duduk termenung. Seharusnya sekarang ia memunguti pelepah-pelepah sawit yang ia patahkan beberapa jam lalu. Kini ia nampak sangat gusar. Kami berdoa dan terus berdoa, jangan ikuti ajakan lelaki setan itu, Wan. Teruslah menjadi Lelaki Pohon, pahlawan bagi kami.
*
            Kaswan benar-benar menjadi Lelaki Pohon. Ia  kebanggaan kami, seperti bangganya ia merawat kami saban hari. Kami ingin melonjak-lonjak kegirangan ketika mendengar keputusan Kaswan di hadapan Bang Junaedi. Dengarlalah, dengarlah ini penuturan pemuda  jujur itu.

“Maaf Bang, sudah aku pikirkan masak-masak, aku tak bisa mengikuti keinginanmu.”
“Lho kenapa? Tawaranku itu cukup bagus Wan. Dalam sebulan gajimu bisa berlipat. Kau tak akan jadi buruh murahan lagi.”
“Aku tau itu Bang, tapi aku kasihan kepada sawit-sawit itu.”
“Kasihan kenapa? Bosmu saja tak pernah kasihan kepadamu. Lihat saja, sudah hampir delapan tahun kau kerja dengannya, tapi uang seribu saja masih dia Wanta.”
“Tak apalah Bang, uang seribu itu kan memang bukan hakku.”
“Kau ini Kaswan, kau bisa menyesal dikemudian hari.”
“Aku tak kan menyesal Bang. Aku mau kerjaku tetap setia pada kebaikan. Meskipun selamanya aku menjadi buruh murahan.”
“Tapi Kaswan, apa kau tak pernah berpikir untuk meningkatkan taraf hidupmu. Menikah misalnya? Punya kebun sendiri.”
“Tentu saja aku berpikir Bang, tapi tidak dengan cara yang buruk seperti itu.”
“Bosmu itu kalau tidak dicurangi tidak akan pernah paham. Pelitnya itu sudah mendarah daging. Makanya karyawannya cuma kau, karena kau yang paling nurut dan tidak pernah protes.”
“Tak apa Bang, aku yakin suatu hari dia akan berubah.”

            Diam dan kesal, Bang Junaedi berlalu sambil terus geleng-geleng kepala. Dan kami ingin sekali menjerit-jerit bahagia sambil berterimakasih kepada pahlawan kami. Lelaki Pohon, ia begitu sempurna mendapatkan julukan itu.
*
            Lelaki Pohon itu kembali menjalani hari-harinya dengan penuh kesetiaan. Ia harus sering-sering tutup telinga dengan omongan orang. Mungkin banyak orang-orang yang kasihan pada nasib lelaki itu, tapi ia begitu setia dan sangat setia. Setia kepada lelaki yang nyaris renta bernama Teguh.

            Seluruh warga di kampung itu mengatakan Teguh keterlaluan kepada Kaswan. Tapi Kaswan tak pernah terpengaruh. Ia bahkan semakin rajin membersihkan kaplingan sawit seluas dua hektar yang diamanahkan padanya. Ia yakin, kesetiaan akan membuahkan kebahagiaan. Meski jujur, ia tak tahu kapan. Apakah sampai lelaki renta itu meninggal?

            Oh tidak, Kaswan tak ingin berprasangka buruk pada takdir. Itu tak pernah ada dalam kamus hidupnya. Meskipun ia terlahir menjadi miskin jelata seperti kata orang. Cukuplah nasehat ayahnya dulu jadi pedoman, ‘Le, jadi bocah sing jujur setia, Insya Allah urepmu bakal seneng.’

            Tapi entah kapan wejangan ayahnya itu bakal terwujud, mungkin lima tahun lagi, sepuluh tahun atau bahkan belasan tahun yang akan datang, ia tak tahu. Yang penting, ia terus jujur dan setia, menjadi lelaki pohon yang akan dikenang zaman. Miskin itu akan menjadi mulia, bila dikemas dengan jujur dan setia. Itulah motto hidup Kaswan. Motto yang tak pernah dimengerti oleh warga kampung tempat ia tinggal.

            Pagi itu ada secercah harapan di wajah Kaswan. Saat ia mendapat kabar bahwa Pak Teguh ingin bertemu dengannya. Ia berharap, inilah akhir dari kesetiaan yang bertahun-tahun ia rawat. Ia yakin, petuah ayahnya akan jadi kenyataan. Anak yang menurut nasehat orang tua biasanya akan selalu bahagia. Faktanya begitu dalam kehidupan. Kaswan pun begitu mantap. Pagi sekali ia mempersiapkan diri mendatangi rumah bosnya. Rumah berdesain Wanimalis modern dengan nuansa warna abu-abu yang berdiri megah. Pagi masih sangat basah. Sampai-sampai bulu mata Kaswan pun masih rapat tertutup embun yang turun seperti kristal-kristal es. Ia sedang menunggu keberuntungan dari butiran kristal itu.

“Wan, saya ingin menyampaikan sesuatu ke kamu.”
“Ya Pak, soal apa ya Pak?”
“Sebelumnya saya Wanta maaf Wan. Keponakan saya baru datang dari Jawa, dia sedang mencari kerjaan di sini.”
“Oh ya, saya sudah sempat melihat dia kemarin, Pak.”
“Ya. Tapi hal ini ada hubungannya dengan kamu. Saya Wanta maaf Wan, mulai pekan depan, keponakan saya  yang akan bekerja merawat sawit yang saya amanahkan ke kamu. Kebun sawit yang lain terlalu jauh, keponakan saya maunya kapling yang kamu panen itu.”

            Dunia seolah runtuh. Kaswan bungkam seketika. Pikirannya berkecamuk. Sekilas terbayang wajah Bang Junaedi, ayahnya serta adik-adiknya. Apakah ia harus menyesali keputusannya kemarin menolak usulan Bang Junaedi? Toh, nyatanya hari ini Pak Teguh malah memecatnya. Jauh sekali dari harapan yang ia inginkan. Tidak, Kaswan menepis semua pikiran-pikiran buruk di kepalanya. Ia berusaha mengembangkan senyum rapuhnya di hadapan lelaki yang telah bertahun-tahun menggajinya dengan jumlah tak layak.

“Ya Pak, tak apa-apa. Kalau keponakan Bapak maunya begitu ya tidak apa-apa. Saya bisa cari tempat lain untuk bekerja.”
“Maafkan saya ya Kaswan.”
Cuma itu ungkapan terakhir Pak Teguh. Tak ada amplop pesangon yang sempat terlintas di kepala Kaswan. Yang ada hanya sebuah senyum tipis lelaki senja di balek cerutu. Senyum yang tentu saja sama sekali tak dibutuhkan oleh Kaswan.

            Berita pemecatan Kaswan menjadi duka nestapa bagi kami. Bukan hanya karena kami akan kehilangan Lelaki Pohon, lebih dari itu keponakan Pak Teguh ternyata sangat jahat merawat kami. Ia berhasil dirayu Bang Junaedi dan akhirnya bersekongkol dengan toke sawit itu. Hampir disetiap musim panen, tak kurang dari dua angkong sawit milik Pak Teguh melayang ke Tempat Pemungutan Hasil (TPH) milik Bang Junaedi. Mereka berbagi keuntungan. Sementara Pak Teguh tak pernah tahu dan tak mengamati. Ia  sangat menyayangi keponakannya itu.

            Sekarang kami hanya bisa berdoa. Siang malam kami berharap agar perangai keponakan Pak Teguh segera terbongkar. Ia sangat jahat menjaga kami. Rumput dan dahan kami tak pernah dibersihkan. Bahkan teman-temanku yang belum layak dipanen pun ia paksa turunkan. Berondolan berserakan di tiap bawah batang sawit. Sementara pasar pikul sawit dibiarkan menjadi semak belukar. Kami ingin menjerit, berteriak dan mengadu kepada pemilik kami. Tapi Pak Teguh  sama sekali tak pernah menyambangi. Ia hanya ingat ketika kami telah menjadi lembaran-lembaran rupiah.

            Kami masih terus begini. Hidup tanpa perawatan. Seolah hanya menjadi sapi perah bagi semua orang. Kami rindu Lelaki Pohon. Ia telah menghilang bak ditelah bumi. Semenjak hari itu, ketika lelaki tua itu memisahkan kami dengan dirinya. Ia raib entah ke mana. Tak ada yang tahu. Yang jelas, Bang Junaedi  orang yang paling bahagia dengan kepergian lelaki kami. Akankah kami terus begini? Tidak! Kami berusaha menentang takdir dengan doa. Siang dan malam kami berharap hal buruk ini segera berlalu. Kami tak ingin satu persatu dari kami mati secara mengenaskan karena sering diperah buahnya secara tidak layak. Tuhan, kami menunggu tanganMu menyentuhkami.Menghalau kekejaman lelaki muda tak tau diuntung keponakan Pak Teguh. Atau Bang Junaedi si pencuri yang tak tau malu itu.

            Kami tak mengerti kenapa ada manusia berputus asa dengan doa. Kami tidak. Kami percaya kekuatan doa. Buktinya Tuhan mengabulkan doa kami. Suatu malam yang pekat, kami dikejutkan oleh dua sosok makhluk berbaju hitam. Mereka manusia, liar dan sadis. Mereka menggerayangi kami, mengambil buah-buah kami tanpa sisa. Makhluk-makhluk itu mengangkut buah-buah kami ke atas sebuah mobil box dengan ukuran yang lumayan besar. Kami tak bisa berbuat apa-apa. Makhluk-makhluk terlalu lincah dan gesit. Yang bisa kami saksikan hanyalah ketika di pagi hari warga sekitar pemilik kebun-kebun di sini mengikat seorang lelaki berbaju hitam pekat. Mungkin makhluk yang kami lihat tadi malam. Hohhh…. lelaki itu tak asing lagi bagi kami, dialah keponakan Pak Teguh.

“Tangkap ninja sawit itu!” semua orang berteriak kompak. Kami lihat Pak Teguh menutup wajah malu di antara kerumunan wajah-wajah yang terus saja mengelilinginya. Kami tak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Keponakan Pak Teguh diborgol dan dibawa pergi oleh massa. Pak Teguh menatap kami sebentar, lalu ia pun berlalu dengan wajah sedih.
*
Lelaki Pohon itu tiba. Kami  histeris menyaksikannya. Ia kini bukan seperti yang dulu kami kenal. Ia datang dengan sebuah mobil  baru. Ia menyalami Pak Teguh. Ia telah berubah. Bajunya sekarang lebih berwarna cerah, tak seperti dulu yang sulit kami sebutkan warnanya. Mereka berbincang-bincang.

“Maafkan saya Kaswan, semenjak kamu pergi, kebun saya jadi rusak total. Tapi sekarang sedang dalam tahap perbaikan. Kalau kamu tak keberatan, kamu bisa membeli kebun ini. Jangan khawatir, harganya pasti saya diskon.”
“Saya memang sudah lama menyukai kebun Pak Teguh ini. Tapi baru sekarang saya punya uang untuk membelinya.”
“Kamu hebat, Kaswan.”
“Apanya yang hebat, Pak? Saya baru punya mobil satu,  Bapak punya tiga mobil.”
“Tapi kamu seorang pebisnis sawit sekarang, sedang saya hanya pemilik kebun sawit.”

            Kami melihat Lelaki Pohon itu  tersenyum. Seperti senyum kami yang terus merekah, bangga akan dia. Kami juga bahagia akan menjadi milik lelaki itu. Lelaki Pohon, yang bertahun-tahun merawat dan menjaga kami dengan keikhlasan dan ketelatenan. Kini meski bukan ia lagi yang merawat kami, setidaknya kami akan selalu melihat Lelaki Pohon menyambangi kami.


BERSAMBUNG

PENGABDIANKU SEBAGAI RIMBAWAN


PENGABDIANKU SEBAGAI RIMBAWAN

Saat mentari yang menyelinap dibalik gunung sedikit demi sedikit mulai bergerak vertikal ke atas untuk mengepakkan kemilau sinarnya yang sangat bermanfaat bagi keberlangsungan proses kehidupan, kemudian angin fajar yang mulai berlari kesana kemari mempertontonkan keelokan setiap lekuk gerakan yang tercermin disetiap pepohonan dan rerumputan yang mengikuti iramanya, lalu suara sang ayam jantan yang mulai terdengar dengan nada yang cukup membisingkan telingaku namun tidak sampai memecah organ korti di saluran dalam telingaku … Kukuruyuik …. Kukuruyuk … Ohk … Ohk …. Ohk (mirip suara batuk manusia).

Gusti, remaja asal Bali yang memiliki tubuh tinggi atletis, karena saat duduk dibangku Sekolah Kehutanan Menengah Atas (SKMA) dia termasuk anak yang rajin berolahraga. Dia berusaha menghancurkan bayangan indah yang sedang aku hayati di alam imajinatif yang wujudnya pastilah abstrak. (Dalam Pikirku) …. Sebentar lagi aku akan sampai di Puncak Gunung itu dan bendera ini akan tertanjab kuat di tanah puncak yang paling tinggi diantara Tanah lain di Pulau Jawa ini …. MAHAMERU  I’M COMING. “Arya … bangun … wey heudang …. Dah pagi wey …  buru mandi ….”
Aku pun terbangun dengan wajah penuh kebingungan, namun aku tungkupkan kembali kepalaku diatas bantal tempat ranjangku berada. Sipratan air menghujat diantara pelipis kepala sampai terasa ke bagian ubun – ubun. Aku berteriak keras “Gandeng sia Gusti”. Aku pun tetap terlelap dalam tidurku, melanjutkan hanyutan mimpi yang sempat putus karena ulah si teman jailku Gusti.

Alangkah terkejutnya diriku ketika jam dinding disamping lemariku menunjukkan pukul 08.37 WITA. Aku pun langsung bergegas seperti orang ambigu tingkat tinggi yang tidak tahu arah, sedang dalam pikiranku terfokus kesatu subjek yaitu Pak Darwoto.
Segera aku mengambil handuk didekat pintu kamar mandi. Kuusapkan kearah wajahku yang masih kumal dialiri leleran keringat bercampur kotoran yang mengendap dikelopak mataku. Pakaian seragam langsung kuraih dibelakang pintu dan langsung kukenakan. Perut keroncong yang berbunyi ringan tak aku pedulikan. Terngiang lagi didalam pikiranku nama bosku Pak Darwoto. Sekitar 10 menit perjalanan untuk dapat sampai ditempat kerjaku di KPH Limboto Gorontalo yang dapat kutempuh menggunakan angkutan desa yamg mondar mandir lewat didepan rumah kontrakanku. Walaupun aku terlahir didaerah kota besar yang jauh dari tempatku bekerja … Jakarta Raya… dan semenjak kecil hingga usiaku menginjak 14 tahun aku hidup bergelimang harta bersama ayah dan ibuku tercinta. Namun hal itu tidak membuatku akan menjadi anak yang manja yang hidup hanya menggantungkan diri kepada harta milik Orang tuaku. Perlu diketahui ayahku dulu adalah seorang Direktur ternama sebuah perusahaan yang bergerak dibidang pertanian di Jakarta, sedangkan ibuku adalah seorang ibu rumah tangga seperti orang pada umumnya, dia tidak bekerja melainkan merawat aku dan adikku tercinta di rumah. Sebetulnya aku bercita- cita untuk menjadi Arsitek kelak jika dewasa karena aku jago dibidang Seni rupa dan sejenisnya, namun karena pesan dari almarhum kakekku yang menyuruhku untuk meneruskan riwayat kesuksesannya yaitu menjadi penyuluh kehutanan, akhirnya aku harus mengalah dan mau menuruti pesannya yaitu sekolah di SKMA. Arsitek menjadi pilihan yang ku nomorduakan  setelah tamat dari SKMA saat itu karena ku ingin langsung terjun kedunia kerja dilingkup kehutanan.

Namun keadaan hari ini membuatku berpikir ulang bahwa hidup memang bagaikan roda yang berputar dan musim yang berganti sepanjang tahun. Saat aku sekarang menjadi tulang punggung keluarga bagi ibu dan 1 orang adik perempuanku yang masih duduk dibangku kelas 2 SMP. Ayahku sudah 2 tahun meninggalkanku untuk beristirahat di alam sana, bertemu dengan Sang Maha Kuasa lantaran tragedi kecelakaan yang menimpanya. Seluruh aset kekayaan telah habis digunakan untuk berbagai kebutuhan. Sekarang semangatku adalah satu, yaitu bekerja untuk mengabdi pada  kehutanan  juga menjadi tulang punggung keluarga. Tak lupa menabung untuk masa depanku kelak pastinya.

Aku sadar hari ini kutelat datang ke tempat kerja, mungkin penyebabnya karena aku begadang semalam menyaksikan pertandingan sepak bola tim favoritku. Tanpa panjang lebar aku segera menghampiri pimpinanku, Pak Darwoto di ruangan sebelah ruang kerjaku.
“Maaf sekali pak, hari ini saya telat datang ke kantor ….” Kataku.
“Kenapa kamu bisa telat ceprut ….” Sahut Pak Darwoto.
Dengan terbata- bata aku menjawab “Taadi saaya baangun ….”
Belum selesai berbicara Pak Darwoto langsung menyuruhku untuk mengerjakan tugas yang ia berikan kemarin.
“ Untuk kali ini bapak maafkan ….” Ucap pak darwoto dengan tegas.
“Terima kasih pak, saya berjanji tidak akan mengulangi kesalahan ini lagi.” Balasku.
“Dah sana segera bekerja …” kata Pak Darwoto.
“Siap pak ….” Sahut suara lantangku.

            Untunglah Pak darwoto mau memaafkan kesalahanku. Setelah itu aku langsung mengganti seragamku dengan kaos dan celana PDL, kuambil cangkul digudang dan akupun bergegas menuju ke areal hutan didekat KPH Limboto. Dengan semangat yang membara baik jiwa maupun raga aku berusaha untuk menerobos panasnya terik Sang raja siang yang mulai mengayun dititik tengah peraduannya. Sebelum melanjutkan pekerjaanku yang kemarin, terlebih dahulu aku lihat lay out persemaian yang akan aku bersama timku buat. Aku, Febrian, dan Galuh ditugasi oleh Pak Darwoto untuk mengolah areal hutan di petak  4 untuk dijadikan sebuah persemaian. Ditempat tersebut  akan dikembangbiakan berbagai macam bibit tanaman kehutanan seperti Jati, Mangium, Eukaliptus, Mahoni, dan lain- lain. Kami pun mulai bekerja dengan membangun sarana dan prasarana persemaian yaitu meliputi persiapan lapangan yang terdiri dari pemasangan patok, yang dibuat dengan tinggi kurang lebih 150 cm, diameter kurang lebih 10- 15 cm. Patok dibuat dari kayu yang tahan rayap dan ujungnya diberi cat hitam serta diberi nomor. Patok ditanam sedalam 50 cm. Pemasangan patok ini bertujuan untuk membatasi lokasi persemaian dengan lokasi luarnya. Apabila dilokasi persemaian ada gangguan penggembalaan ternak maupun ada gangguan hewan lainnya maka sekeliling areal persemaian perlu dipagar misalnya dengan kawat berduri. Selanjutnya adalah pembersihan lapangan yaitu kegiatan membersihkan areal dari rumput- rumputan, semak belukar, dan tunggak- tunggak pohon. Bila pada areal yang akan dijadikan tempat untuk membuat persemaian masih berdiri pohon- pohon, maka kegiatan ini diawali dengan menebang pohon- pohon, mengumpulkan batang dan cabang yang besar, menggali tunggak dan mengelurkannya dari areal persemaian. Hal ini perlu dilakukan karena sisa- sisa kayu dan daun- daunan merupakan sumber hama dan penyakit yang dapat membahayakan bagi bibit yang akan diproduksi. Dan pembersihan pun dapat dilakukan secara mekanis ataupun manual. Lalu setelah itu timku melakukan perataan dan penataan tanah. Perataan dilakukan hingga kemiringan tanah 1- 5 % agar air tidak menggenang dan tidak terjadi erosi yang membahayakan. Penataan tanah disesuaikan dengan rencana tata letak persemaian. Pada kegiatan ini juga perlu dibuat jalan persemaian agar kendaraan yang m,engangkut bahan dan peralatan persemaian serta bibit yang dihasilkan dari persemaian dapat dengan mudah keluar masuk areal persemaian. Langkah selanjutnya timku melaksanakan pengolahan dan pengerasan tanah. Pengolahan tanah dilakukan setelah kegiatan perataan. Karena persemaian yang timku bangun tergolong permanen, maka areal yang akan digunakan untuk produksi bibit dan bangunan perlu diperkeras. Pengerasan dilakukan dengan menggunakan batu dengan ketebalan 8- 10 cm untuk areal produksi bibit serta 3- 5 cm untuk bangunan. Setelah tahapan persiapan lapangan selesai maka pembangunan sarana produksi pokok pun dibuat yaitu meliputi Bedeng tabur, Bedeng Sapih, Wadah Bibit, Naungan dan Kandang Ternak. Selain itu juga dibangun sarana dan prasarana penunjang yaitu Selokan, Saluran Irigasi, Jalan Angkutan, Kantor, Operation Room, Tempat Parkir, Laboratorium, dan Gudang.

7 Hari Kemudian …
Akhirnya aku dan timku telah selesai mengerjakan tugas yang diberikan oleh atasanku Pak Darwoto untuk membangun Persemaian di areal hutan petak 4. Setelah kurang lebih selama 7 hari menyelesaikan proyek itu, Pak Darwoto pun melakukan survey lapangan untuk mengevaluasi lokasi persemaian yang telah timku buat. Namun apa yang terjadi, ternyata Persemaian yang timku buat tidak sesuai kriteria yang diinginkan oleh Pak Darwoto karena beberapa hal diantaranya seperti pemilihan lokasi, peletakkan media tabur dan media sapih yang kurang strategis karena agak jauh dari intensitas penyinaran matahari, lalu kondisi tanah yang kurang mendukung karena kegagalan yang timku buat pada proses pengerasan tanah, dan belum terdapatnya harmonisasi antara unsur tanaman kehutanan, semusim, maupun ternak yang dapat menciptakan realisasi Agroforestri. Untungnya Pak Darwoto masih berbaik hati kepada timku karena ia memberi waktu kurang lebih selama 5 hari lagi agar timku dapat memperbaiki kesalahan pada pembuatan lokasi persemaian tersebut. Walaupun aku cukup kecewa dengan evaluasi yang dilakukan oleh Pak Darwoto yang menganggap aku dan timku gagal membuat lokasi persemaian, namun aku tetap menerima hasilnya karena aku ingin kedepan lebih baik lagi dalam menyelesaikan suatu pekerjaan yang diberikan oleh pimpinan. Segera aku menyelesaikan kembali tugas yang diberikan Pak Darwoto, aku ingin kali ini berhasil, aku harus mampu membuktikan bahwa aku bisa mengerjakan pekerjaan ini dengan baik dan tidak mengecewakan pastinya. Setelah berpikir beberapa menit, Aku, Febrian, dan Galuh pun sepakat untuk membagi pola kerja menjadi 3 bagian agar dapat berjalan efektif dan efisien. Aku bagian memperbaiki lokasi peletakkan media tabur dan media sapih agar strategis, sehingga dekat dengan intensitas cahaya matahari. Kemudian Febrian memperbaiki pola pengerasan tanah yang akan digunakan dalam lokasi persemaian, dan Galuh menyeleksi tanaman yang tepat untuk digunakan dalam Pembuatan Agroforestri. Walaupun kami mengerjakannya secara individu tetapi kami tetap bekerja sama dalam hal perbaikan lokasi persemaian ini, sehingga nantinya kami dapat memperbaiki areal persemaian yang telah kami buat sebelumnya.

Tak terasa waktu berputar begitu cepat, saat aku melihat jam dinding di tempat kerjaku yang telah menunjukkan Pukul 17.12 WITA. Aku pun langsung bergegas menuju kamar mandi.…. Gebyur …byur …. byur …. Terdengar bunyi siraman air yang membasahi tubuhku. Kurang lebih 5 menit menghabiskan waktu untuk mandi, segera aku mengambil tas yang aku letakkan di atas meja kerja dan langsung menuju ke depan gerbang untuk menunggu Angkutan Desa untuk pulang menuju ke rumah kontrakanku di daerah Limbangwatan. Setelah menunggu agak lama, akhirnya aku mendapatkan Angkutan Desa untuk aku naiki. Selama di kendaraan aku memikirkan mengenai Persemaian yang aku dan timku buat, apakah hasilnya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Pak Darwoto ataukah tidak memenuhi. Walaupun hasratku berfikir apabila persemaian yang telah timku perbaiki telah sesuai dengan syarat dan kriteria yang ditentukan bahkan timku telah membuat suatu inovasi dalam perbaikan persemaian tersebut. Tetapi apakah Pak Darwoto akan berfikir sama dengan apa yang timku fikirkan, tak tahulah, yang pasti apabila Pak Darwoto menilai secara objektif pasti persemaian yang timku buat telah memenuhi kriteria bahkan lebih dari yang diharapkan. Namun sebaliknya apabila Pak Darwoto subjektif maka akan memutar balik fakta dan menganggap Perbaikan tersebut gagal. Akhirnya sampailah aku didepan rumah kontrakanku, aku langsung mengetuk pintu memanggil Kadek teman satu kontrakanku.

“Tok … tok … tok …tok … Permisi dek buka pintunya ! sedang apa kau didalam ?”. Suaraku.
“Oh yo bentar bro, ku lagi nyetrika pakaian, bentar … “. Jawab Kadek.
“Buru atuh, lila teing sia.” Jawabku.
“Pret…pret (suara pintu terbuka).

            Segera aku masuk ke rumah, melepas seragam, dan mengganti pakaianku dengan pakaian bebas. Kemudian aku langsung menuju ke ruang tamu untuk menikmati hiburan sejenak dengan menonton televisi. Tak terasa adzan Isya berkumandang, lalu aku langsung bergegas untuk melaksanakan Shalat. Dan setelah shalat Isya ku langsung menuju ke kursi kecil yang berada disudut kamarku. Tanpa disadari, kuterhenyak dalam lamunan memikirkan tentang kehidupanku di masa depan nantinya. Kuingin menjadi
seorang rimbawan sejati yang mampu menyelamatkan hutan dari kerusakan. Kumerasa prihatin terhadap permasalahan hutan di Indonesia dewasa ini. Kuberharap masa depan kualitas sumber daya hutan di Indonesia lebih baik, sehingga mampu benar- benar menyejahterakan kehidupan. Jam dinding menunjukkan pukul 21.00 WITA, rasa kantukpun hinggap menyergap diriku sekaligus membangunkanku dari lamunan yang telah membuat diriku terhenyak beberapa saat. Ku langsung menuju ranjang menengadahkan anggota tubuh dan akhirnya tertidur dalam suasana heningnya malam. Alarm pun membangunkanku dari tidur bersamaan dengan berkumandangnya suara adzan Subuh. Segera aku mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat Subuh di Mushola sebelah kontrakanku.

Hari ini mentari bersinar terang secerah suasana hatiku. Saat tiba di kantor kumerasa aneh lantaran tak ada satupun rekanku yang hadir, padahal jam dinding menunjukkan pukul 07.00 WITA. Kring … kring… kring … terdengar suara telepon kantor berbunyi dan langsung kujawab telepon tersebut.
“Halo selamat pagi, dengan siapa dan ada perlu apa ?”. Tanyaku.
“Saya dari Pihak Kepolisian, apakah benar ini dari Kantor KPH Limboto”.Sahutnya.
“Ya pak benar, memang ada apa pak”. Jawabku.
“Saya ingin berbicara dengan Bapak Arya Wiguna”. Balasnya.
“Ya saya sendiri pak”. Jawabku dengan rasa canggung.
“Anda harus datang selambat- lambatnya jam 9 siang ini di Polsek Limboto karena ada sesuatu yang ingin saya bicarakan kepada anda”. Katanya.
“Oh baik pak saya siap datang nanti, tapi jika boleh tahu ada masalah apa Pak”. Jawabku dengan nada sedikit penasaran.
“Anda dilaporkan terlibat dalam kasus Penjualan Kayu Gelondongan tanpa izin sehingga anda akan kami selidiki untuk proses lebih lanjut”. Jawabnya.
“Tapi saya tidak merasa terlibat dalam kasus itu Pak, dan saya tidak mengetahuinya sama sekali”. Balasku dengan rasa terkejut luar biasa.
“Tidak ada tapi- tapian, intinya anda ditunggu secepatnya di kantor Polsek Limboto”. Kata terakhirnya sebelum memutus pembicaraan.
Belum selesai meneruskan pembicaraan … Tut …Tut …Tut … Suara telepon terputus begitu saja. Aku merasa heran mengapa tiba- tiba aku mendapat telepon dari pihak kepolisian, padahal aku tidak terlibat dalam suatu kasus apalagi menyangkut paut dengan persoalan penjualan kayu gelondongan. Aku pun segera keluar dari dalam ruang kantor dan betapa terkejutnya aku ketika rekan kerjaku satu kantor datang dengan tiba- tiba sambil diiringi nyanyian selamat ulang tahun. Memang aku tidak sadar jika hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke- 20. Hal ini mungkin dikarenakan aktivitasku yang terlalu sibuk dalam menjalankan rutinitas kerjaku yang bisa dikatakan padat. Diusiaku yang ke- 20 tahun ini, banyak diantara rekan kerjaku yang memberiku ucapan selamat dan bingkisan kado yang berharga pastinya. Kejutan pun datang lagi dari Pak Darwoto yang secara tiba- tiba datang memberikan jabatan tangan mengucapkan selamat kepadaku dan sekaligus memberikan apresiasi kepada timku karena berhasil membangun dan memperbaiki areal persemaian yang ditugaskannya serta alangkahkah bahagianya aku ketika Pak Darwoto secara jelas memberikan Surat SK kepadaku perihal kenaikan pangkat atau golongan kerja yang awalnya II B menjadi II C sehingga otomatis peran kerjaku di KPH Limboto akan berubah dan besar gaji yang diterima pun akan bertambah. Tak terasa usiaku saat ini telah menginjak 20 tahun, sebuah usia yang menurutku sudah dewasa dan diusiaku tersebut aku telah mempunyai pekerjaan tetap di lingkup kehutanan. Aku berkeinginan untuk terus meningkatkan kinerjaku agar kualitasku semakin meningkat kearah yang lebih baik pastinya dalam mengabdi pada pekerjaanku.
Sebagai seorang rimbawan sejati aku telah dididik untuk menanamkan jiwa Korsa atau kebersamaan. Rasa Korsa tersebut terbentuk dan terpupuk karena aku selama 3 tahun lamanya mengenyam pendidikan di SKMA (Sekolah Kehutanan menengah Atas). Di sekolah tersebutlah aku dapat belajar dan mengenal berbagai hal yang berbeda dengan sekolah lain pada umumnya. Tidak hanya belajar materi pembelajaran, namun aku juga diajarkan pentingnya arti sebuah kedewasaan, kemandirian, dan komitmen yang pastinya sangat berguna bagi diriku karena manfaatnya telah aku rasakan sekarang. Di SKMA aku dididik untuk siap menjadi tenaga teknis lapangan yang handal dan professional dalam menekuni bidang keahlian kehutanan. Memang tidak pernah terfikir dan terbayang ketika usiaku kanak- kanak untuk menjadi seperti sekarang ini, namun aku mengerti Tuhan Yang Maha Kuasa lah yang menentukan semua ini karena takdir dan proses kehidupanlah yang dapat merubah keinginan seseorang dan aku menyadari setiap cita- cita yng kita inginkan saat masih kecil belum pasti akan tercapai secara konkret seperti apa yang diharapkan karena proses kehidupanlah yang dapat menentukan semuanya.

Setiap orang yang hidup pasti mempunyai target maupun tujuan hidup masing- masing yang ingin mereka wujudkan. Saat ini aku mengabdi penuh di lingkup kehutanan, permasalahan- permasalahan yang muncul di dunia kehutanan membuatku sadar bahwa betapa dibutuhkannya peranku untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut. Keserakahan manusia yang tidak bijak dalam memanfaatkan sumber daya hutan membuat kualitas hutan di Indonesia mengalami penurunan. Penebangan hutan secara liar, illegalloging, penangkapan satwa tanpa izin, kebakaran hutan, dan alih fungsi areal hutan merupakan serangkaian kasus yang menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan yang pastinya bersifat merugikan. Aku berharap diriku mampu menjadi subyek yang mampu memperbaiki semuanya kearah yang lebih baik, karena aku tahu betapa pentingnya fungsi hutan dalam menunjang keberlangsungan hidup umat manusia.